BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Agama merupakan suatu hal yang penting dalam masyarakat. Setiap manusia
juga memiliki kebebasan dalam beragama, memilih ataupun tidak itu merupakan hak
setiap manusia. Oleh karena itu tidak boleh ada yang memaksa atau mencampuri
urusan agama orang lain. Seringkali umat beragama yang jumlahnya mayoritas di
suatu wilayah akan menekan umat beragama yang minoritas, baik itu secara
langsung maupun tidak langsung. Hal ini jika tidak ditangani dan disikapi
secara tepat akan menimbulkan konflik yang bisa dikatakan sebagai konflik agama
yang saat ini sedang marak terjadi.
Agama secara ideal dan normatif itu diharapkan
membawa kesejukan bagi umat manusia, ternyata tidak mengungkapkan hal itu.
Agama-agama dapat menjadi sumber konflik bahkan bukan tidak mungkin orang
justru mencari dasar-dasar pembenaran dalam kitab sucinya masing-masing untuk
membenarkn konflik yang terjadi.
Pada masa sekarang umat tidak sepi dari berbagai
konflik dengan motivasi agama, atau minimal dengan membangkitkan emosi keagamaan
yang sempit. Di nigeria, Islam dan Kristen dipertentangkan hanya agar seseorang
dapat bertahan sebagai presiden. Di Sudan, kaum Kristen menjadi korban berbagai
intimidasi. di Kosovo, umat Islam ditindas oleh kaum Kristen Ortodoks demi
kemenangan politik.
Indonesa sebagai masyarakat majemuk akan sangat
potensial menjadi penyebab perpecahan apabila setiap agama menonjolkan
“kebenaran” agamanya masing-masing di luar proporsi yang wajar. Di pihak lain
kemajemukan merupakan potensi yang justru dapat memajukan bangsa ini. Dengan
keanekaragaman yang ada masyarakat dapat belajar satu sama lain terhadap
penganut agama lain.
1.2. Rumusan
Masalah
Untuk mengkaji
dan mengulas tentang agama dan kerukunan dalam kehidupan manusia, maka
diperlukan pokok-pokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penyusun
membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
hakikat agama secara umum?
2.
Bagaimana peranan agama dalam
masyarakat?
3.
Apa saja yang terkandung dalam
trilogi umat beragama?
4.
Apa itu konflik agama?
5.
Bagaimana cara penanggulangan
konflik agama?
6.
Apa saja tantangan dan harapan dalam
mewujudkan kerukunan umat beragama?
1.2. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang
telah dikemukakan, maka tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui hakikat agama secara umum.
2.
Mengetahui apa saja peranan agama
dalam masyarakat.
3.
Mengetahui apa saja isi dari trilogi
umat beragama.
4.
Mengetahui apa itu konflik agama.
5.
Mengetahui cara penanggulangan
konflik agama.
6.
Mengetahui saja tantangan dan
harapan dalam mewujudkan kerukunan umat beragama.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hakikat Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama
adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal
dari bahasa Sanskerta, āgama yang
berarti "tradisi". Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan
berakar pada kata kerja re-ligare yang
berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang
mengikat dirinya kepada Tuhan.
Menurut fiolog Max Müller, akar kata
bahasa Inggris "religion", yang dalam bahasa Latin religio,
awalnya digunakan untuk yang berarti hanya "takut akan Tuhan atau
dewa-dewa, merenungkan hati-hati tentang hal-hal ilahi, kesalehan"
(kemudian selanjutnya Cicero menurunkan menjadi berarti "ketekunan"). Max Müller menandai banyak budaya lain di seluruh dunia, termasuk Mesir, Persia, dan India, sebagai bagian yang memiliki struktur kekuasaan yang sama pada saat ini dalam sejarah. Apa yang disebut agama kuno hari ini, mereka akan hanya disebut sebagai "hukum".
(kemudian selanjutnya Cicero menurunkan menjadi berarti "ketekunan"). Max Müller menandai banyak budaya lain di seluruh dunia, termasuk Mesir, Persia, dan India, sebagai bagian yang memiliki struktur kekuasaan yang sama pada saat ini dalam sejarah. Apa yang disebut agama kuno hari ini, mereka akan hanya disebut sebagai "hukum".
Banyak
bahasa memiliki kata-kata yang dapat diterjemahkan sebagai "agama", tetapi
mereka mungkin menggunakannya dalam cara yang sangat berbeda, dan beberapa
tidak memiliki kata untuk mengungkapkan agama sama sekali. Sebagai contoh,
dharma kata Sanskerta, kadang-kadang diterjemahkan sebagai "agama",
juga berarti hukum. Di seluruh Asia Selatan klasik, studi hukum terdiri dari
konsep-konsep seperti penebusan dosa melalui kesalehan dan upacara serta
tradisi praktis. Medieval Jepang pada awalnya memiliki serikat serupa antara
"hukum kekaisaran" dan universal atau "hukum Buddha",
tetapi ini kemudian menjadi sumber independen dari kekuasaan.
Tidak ada
setara yang tepat dari "agama" dalam bahasa Ibrani, dan Yudaisme tidak
membedakan secara jelas antara, identitas keagamaan nasional, ras, atau
etnis. Salah satu konsep pusat adalah "halakha" ,
kadang-kadang diterjemahkan sebagai "hukum" ",yang memandu
praktek keagamaan dan keyakinan dan banyak aspek kehidupan sehari-hari. Penggunaan
istilah-istilah lain, seperti ketaatan kepada Allah atau Islam yang
juga didasarkan pada sejarah tertentu dan kosakata.
Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan,
sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan
tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan
sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau
menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka
tentang kosmos dan sifat manusia, orang
memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau
gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di
dunia.
Banyak agama
yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi tentang apa
yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktik
agama juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa
atau dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan,
layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan atau
aspek lain dari budaya manusia. Agama juga mungkin mengandung mitologi.
Kata agama
kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau
kadang-kadang mengatur tugas; Namun, dalam kata-kata Émile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan
pribadi dalam bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial”, Émile Durkheim juga mengatakan bahwa agama
adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang
berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin
berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah,
mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.
2.2. Peranan Agama Dalam Masyarakat
Dalam kehidupan
bermasyarakat, agama memegang peranan yang besar dan sangat penting. Keberadaan
agama di tengah-tengah masyarakat tidak dapat diabaikan. Agama mengatur tentang
bagaimana membentuk masyarakat yang madani. Agama juga yang mampu menciptakan
kerukunan dalam kultur masyarakat yang majemuk.
Seperti yang kita semua
ketahui bahwa tidaklah mudah untuk hidup dalam perbedaan. Setiap perbedaan,
utamanya perbedaan pendapat yang ada di masyarakat dapat memicu timbulnya
perselisihan. Di sinilah posisi agama memainkan perannya yang penting sebagai
penegak hukum dan menjaga agar masyarakat saling menghormati dan tunduk pada
hukum yang berlaku.
Jika dalam masyarakat,
agama sudah tidak dianggap memegang peran yang penting, dapat dipastikan
kehidupan sosial masyarakat tersebut akan mengalami dekadensi moral dan
kekacauan yang nantinya akan meluas ke lingkup yang lebih luas, yakni Bangsa
dan Negara. Karena Negara dipandang sebagai wadah dan sekaligus perwujudan
nilai-nilai luhur yang bersumber pada agama. Hingga kini kita masih melihat
kecenderungan kuatnya peran agama dalam masyarakat.
Dalam hal-hal tertentu
memang kita saksikan adanya pergeseran. Dahulu, hampir semua persoalan sosial
yang dialami masyarakat biasanya akan dikonsultasikan kepada tokoh agama.
Mereka menjadi konsultan dari persoalan publik hingga problema keluarga.
Modernisasi kemudian menggeser peran itu. Persoalan sosial tersebut kini sudah
terfragmentasi dalam lembaga-lembaga khusus sesuai dengan keahlian dari
pengelola lembaga tersebut. Jadi, dalam batas-batas tertentu modernisasi atau
perkembangan ilmu pengetahuan memang telah menggeser posisi agama. Namun itu
tidak serta merta dapat dimaknai bahwa agama akan kehilangan fungsi dan
menghilang dengan sendirinya. Karena, peran agama dalam lembaga-lembaga
tersebut tidak sepenuhnya hilang.
Dalam kehidupan
bermasyarakat, agama memiliki fungsi yang vital, yakni sebagai salah satu
sumber hukum atau dijadikan sebagai norma. Agama telah mengatur bagaimana
gambaran kehidupan sosial yang ideal, yang sesuai dengan fitrah manusia.
Contohnya saja, agama Islam mengatur tentang bagaimana bersikap terhadap orang
lain, mengajarkan untuk saling bersilaturahmi, saling menolong sesama, tidak
membedakan satu sama lain, mengajarkan untuk memilih atau menjadi pemimpin yang
baik, dan banyak contoh-contoh ajaran agama dalam kehidupan kita sehari-hari
yang memang sangat berguna bagi kehidupan kita.
Selain itu, agama juga
telah meberikan contoh yang konkret mengenai kisah-kisah kehidupan
sosio-kultural manusia pada masa silam, yang dapat dijadikan contoh yang sangat
baik bagi kehidupan bermasyarakat di masa sekarang. Kita dapat mengambil hikmah
dari dalamnya. Meskipun tidak ada relevansinya dengan kehidupan masyarakat
zaman sekarang sekalipun, setidaknya itu dapat dijadikan pelajaran yang
berharga, misalnya agar tidak terjadi tragedi yang sama di masa yang akan
datang.
2.2.1. Fungsi Agama Dalam Masyarakat
Berikut adalah tiga fungsi agama
dalam masyarakat.
a. Fungsi Edukatif
Fungsi Edukasi
merupakan salah satu tujuan utama agama. Melalui pembimbing, ketua, dan
pemimpinnya agama senantiasa memberikan pengajaran dan bimbingan pada umatnya
agar selalu bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam pengajarannya,
agama selalu mendorong agar setiap individu selalu patuh dan taat serta mempraktekkan
ajaran dan perintah sesuai dengan agamanya. Melalui kehidupan rohani agamnya,
seseorang diajarkan agar dapat tumbuh dewasa dan mengembangkan kepribadian yang
baik sejalan dengan aturan dan nilai-nilai keagamaannya.
b. Fungsi Penyelamatan
Keselamatan dan
keamanan hidup merupakan dambaan dan harapan semua makhluk hidup di dunia.
Setiap orang selalu berusaha keras untuk mencari dan memperoleh keselamatan.
Hal ini dilakukan dalam berbagai cara sesuai dengan keyakinan dan kecocokan
masing-masing orang. Agama yang merupakan pegangan dan pedoman hidup manusia
diyakini merupakan jaminan yang paling utama dalam memperoleh keselamatan.
Melalui ajaran agama
diajarkan dan disebutkan cara dan aturan yang harus dipatuhi, ditaati, dan
dijalankan agar dapat memperoleh keselamatan. Apabila seseorang mematuhi dan
yakin terhadap agama maka akan diberi keselamatan dan senantiasa mendapatkan
perlindungan dari agama agar terhindar dari segala bentuk ancaman kehidupan
seperti bencana, kecelakaan, dan lain-lain.
c. Fungsi Memupuk Persaudaraan
Agama bersifat
universal dan penganutnya terdapat dimana-mana di belahan dunia manapun dan
penganutnya berasal dari latar belakang sosial yang berbeda, suku, ras, warna
kulit, gender, derajt sosial, pekerjaan, dan kasta yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, agama dapat dikatakan berfungsi memupuk rasa persaudaraan diantara
sesama manusia dalam menjalin hubunga horizontal yang erat.
Dalam kehidupan
beragama setiap umat dengan latar belakang dan kebudayaan yang berbeda dapat
bersatu dan bersama-sama menjalankan nilai-nilai keagamaan secara kontinyu dan
konsisten. Meskipun mempunyai banyak perbedayaan prisnsip dan tingkat
pengetahuan, dalam keagamaan hal itu bukan merupakan penghambat agar umatnya
dapat berinteraksi dan melaksanakan ajaran keagamaan dalam kehidupan
sehari-hari.
Banyak pertikaian dan perselisihan antar
manusia dapat diselesaikan dengan adanya campur tangan dari agama sehingga
pihak yang berselisih memahami manfaat dari pembelajaran agam dan dapat
menghindari peritkaian
2.2.2. Pentingnya Agama Bagi Kehidupan Bermasyarakat
Dapat dikatakan bahwa dalam
kehidupan bermasyarakat, agama sangat dibutuhkan, karena mempunyai beberapa
sebab, diantaranya.:
a. Suatu sanksi untuk prinsip moral
Agama membawa suatu
sanksi pada prinsip moral seperti: nilai keadilan, rasa malu, hak-hak,
persaudaraan, persamaan, karater baik, toleransi, pengorbanan, bantuan bagi
yang membutuhkan dan kepentingan lain.
b. Suatu kekuatan untuk mengeraskan
semangat menghadapi kehidupan
Agama membekali pada
manusia semangat untuk menghadapi tantangan dan siap menghadapi reaksi yang
membahayakan oleh sebab hal-hal mengecewakan dan tidak berpengharapan.
c. Menghadapi kekosongan ideologi
Manusia tidak akan
dapat hidup dalam situasi kekosongan ideologi pada jangka waktu lama, sehingga
seringkali kasus menunjukkan mereka mempunyai tendensi pada ideologi yang
meyimpang dan palsu. Dari situlah, pemahaman yang benar dari agama dapat
memainkan peranan sangat penting dalam melawan hal supertisi(ide diatas
kemampuan berpikir orang). Adalah benar juga jika pemahaman agama yang tidak
benar akan menjadikan hal superstisi juga.
d. Bantuan terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Agama dengan cara
pengajaran yang sehat dan jelas, adalah faktor nyata kemajuan ilmu pengetahuan,
karena ia didasarkan pada pondasi yang kokoh dalam pilihan bebas, dan karena
semua manusia adalah bertanggungjawab pada semua aksi yang telah dilakukannya
sendiri.
e. Melawan diskriminasi
Agama melawan secara
tegas dan mantap terhadap semua deskriminasi yang dibangun atas dasar warna
(kulit), ras, klas sosial, karena agama memandang bahwa semua manusia adalah
ciptaan Tuhan dan semua negara sebagai tanah tumpah/ negara bagi Tuhan. Menurut
agama, semua makhluk hidup memperoleh manfaat dari cinta dan kasih Tuhan, dan
karena itu semua manusia adalah sama, tanpa deskriminasi.
2.3. Trilogi Umat Beragama Sebagai Dasar Hidup Rukun
Dalam
setiap jenjang pendidikan, selalu dikenalkan adanya trilogi kerukunan umat beragama
yang harus dijunjung oleh masing-masing warga negara Indonesia guna
terbentuknya kerukunan, kedamaian, dan terciptanya stabilitas nasional. Trilogi
kerukunan umat beragama itu antara lain adalah:
a.
Kerukunan intern umat beragama.
b. Kerukunan antar umat
beragama.
c.
Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
Hal-hal tersebut menjadi nilai-nilai yang bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga tercipta kehidupan bermasyarakat yang madani, aman dan sejahtera.
Kerukunan
intern umat beragama berarti adanya kesepahaman dan kesatuan untuk melakukan
amalan dan ajaran agama yang dipeluk dengan menghormati adanya perbedaan yang
masih bisa ditolerir. Misal dalam Islam ada NU, Muhammadiyah,
dsb. Dalam Kristen ada GBI, Pantekosta dsb.
Dalam Katolik ada Roma dan Ortodoks. Hendaknya dalam intern masing-masing agama tercipta suatu
kerukunan dan kebersatuan dalam masing-masing agama.
Kemudian,
kerukunan antar umat beragama adalah menciptakan persatuan antar agama agar
tidak terjadi saling merendahkan dan menganggap agama yang dianutnya paling
baik. Ini perlu dilakukan untuk menghindari terbentuknya fanatisme ekstrim yang
membahayakan keamanan, dan ketertiban umum. Bentuk nyata yang bisa dilakukan
adalah dengan adanya dialog antar umat beragama yang didalamnya bukan membahas
perbedaan, akan tetapi memperbincangkan kerukunan, dan perdamaian hidup dalam
bermasyarakat. Intinya adalah bahwa masing-masing agama mengajarkan untuk hidup
dalam kedamaian dan ketentraman.
Terakhir
adalah kerukunan umat beragama dengan pemerintah, maksudnya adalah dalam hidup
beragama, masyarakat tidak lepas dari adanya aturan pemerintah setempat yang
mengatur tentang kehidupan bermasyarakat. Masyarakat tidak boleh hanya mentaati
aturan dalam agamanya masing-masing, akan tetapi juga harus mentaati hukum yang
berlaku di negara Indonesia. Bahwasanya Indonesia itu bukan negara agama tetapi
adalah negara bagi orang yang beragama.
2.4. Konflik Agama
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik agama adalah suatu
pertikaian antar agama baik antar sesama agama itu sendiri, maupun antar agama
satu dengan agama lainnya. Konflik agama itu sndiri terjadi baik sesama umat,
antar umat, ataupun umat dan masyarakat. Berikut adalah beberapa contoh
konflik agama yang terjadi di Indonesia.
a.
Tahun 1996, 5 gereja dibakar oleh 10,000
massa di Situbondo karena adanya konflik yang disebabkan oleh kesalahpahaman.
b.
Adanya bentrok di kampus Sekolah Tinggi
Theologi Injil Arastamar (SETIA) dengan masyarakat setempat hanya karena kesalahpahaman
akibat kecurigaan masyarakat setempat terhadap salah seorang mahasiswa SETIA
yang dituduh mencuri, dan ketika telah diusut Polisi tidak ditemukan bukti
apapun. Ditambah lagi adanya preman provokator yang melempari masjid dan masuk
ke asrama putri kampus tersebut. Dan bisa ditebak, akhirnya meluas ke arah
agama, ujung-ujungnya pemaksaan penutupan kampus tersebut oleh masyarakat
sekitar secara anarkis.
c. Perbedaan
pendapat antar kelompok – kelompok Islam seperti FPI (Front Pembela Islam) dan
Muhammadiyah.
d. Perbedaan
penetapan tanggal hari Idul Fitri, karena perbedaan cara pandang masing –
masing umat.
Sepanjang
sejarah agama dapat memberi sumbangsih positif bagi masyarakat dengan memupuk
persaudaraan dan semangat kerjasama antar anggota masyarakat. Namun sisi yang
lain, agama juga dapat sebagai pemicu konflik antar masyarakat beragama. Ini
adalah sisi negatif dari agama dalam mempengaruhi masyarakat Dan hal ini telah
terjadi di beberapa tempat di Indonesia.
2.4.1. Sebab Terjadinya Konflik Agama
Pada bagian ini akan diuraikan sebab terjadinya
konflik antar masyarakat beragama khususnya yang terjadi di Indonesia dalam
perspektif sosiologi agama.
Hendropuspito
mengemukakan bahwa paling tidak ada empat hal pokok sebagai sumber konflik
sosial yang bersumber dari agama.
a.
Perbedaan Doktrin
dan Sikap Mental
Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam
bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang
menjadi penyebab dari benturan itu.
Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai
gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan,
memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala
penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada
agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan
lawan dinilai menurut patokan itu.
Sebagai contoh kita ambil agama Islam dan Kristen di
Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk
dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal
dari Tuhan.
Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental
dan kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.
b.
Perbedaan Suku dan
Ras Pemeluk Agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama
memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah
dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan
antar kelompok dalam masyarakat.
Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku
Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang
beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan
dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan.
Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti:
Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk
setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat.
Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang yang
umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan
suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.
c.
Perbedaan Tingkat
Kebudayaan
Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia.
Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama.
Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni
budaya tradisional dan budaya modern.
Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok
masyarakat agama Islam - Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan
antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki
budaya yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki
budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih
berwajah budaya Barat yang mewah.
Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang
berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong
yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.
d.
Masalah Mayoritas
dan Minoritas Golongan Agama
Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab.
Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah
mayoritas dan minoritas golongan agama.
Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk
adalah beragama Islam sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang
ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang
minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa
berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang
Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok
minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti: perusakan dan pembakaran
gedung-gedung ibadat.
2.4.2. Faktor-Faktor Terjadinya Konflik
Agama
Terjadinya
konflik tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
a.
Karena tidak adanya keampuhan Pancasila
dan UUD 45 yang selama ini menjadi pedoman bangsa dan negara kita mulai
digoyang dengan adanya amandemen UUD 45 dan upaya merubah ideologi negara kita
ke ideologi agama tertentu.
b.
Kurangnya rasa menghormati baik antar
pemeluk agama satu dengan yang lainnya ataupun sesama pemeluk agama.
c.
Adanya kesalahpahaman yang timbul karena
adanya kurang komunikasi antar pemeluk agama.
Setelah
melakukan penelitian dan diskusi lintas agama di Indonesia selama
bertahun-tahun, bagi Associated Professor yang merupakan alumni UKSW ini,
konflik agama di Indonesia disebabkan oleh :
a.
Meningkatnya konservatisme dan
fundamentalisme agama.
b.
Keyakinan bahwa hanya ada satu intepretasi
dan kebenaran yang absolut.
c.
Ketidakdewasaan umat beragama.
d.
Kurangnya dialog antaragama.
e.
Kurangnya ruang public dimana orang-orang
yang berbeda agama dapat bertemu.
f.
Kehausan akan kekuasaan.
g.
Ketidakterpisahan antara agama dan Negara.
h.
Ketiadaan kebebasan beragama.
i.
Kekerasan agama tidak pernah diadili.
j.
Kemiskinan dan ketidakadilan.
k.
Hukum agama lebih diutamakan ketimbang
akhlak orang beragama.
2.5. Penanggulangan
Konflik Agama
Agama sebuah keyakinan. Bukan barang mainan. Setiap
orang bersedia melakukan apa saja, demi keyakinan agama. Inilah yang harus
diperhatikan oleh semua golongan, agar tidak bertindak sewenang-wenang. Karena
hanya akan menyulut perang antara agama.
2.5.1. Hal-Hal yang Perlu Dilakukan untuk
Mencegah Konflik Agama
Beberapa
hal yang bisa dilakukan untuk mencegah konflik antar agama :
a.
Dalam menangani konflik antaragama, jalan
terbaik yang bisa dilakukan adalah saling mentautkan hati di antara umat
beragama, mempererat persahabatan dengan saling mengenal lebih jauh, serta
menumbuhkan kembali kesadaran bahwa setiap agama membawa misi kedamaian.
b.
Tidak memperkenankan pengelompokan
domisili dari kelompok yang sama didaerah atau wilayah yang sama secara
eksklusif. Jadi tempat tinggal/domisili atau perkampungan sebaiknya mixed, atau
campuran dan tidak mengelompok berdasarkan suku (etnis), agama, atau status
sosial ekonomi tertentu.
c.
Masyarakat pendatang dan masyarakat atau
penduduk asli juga harus berbaur atau membaur atau dibaurkan.
d.
Segala macam bentuk ketidakadilan
struktural agama harus dihilangkan atau dibuat seminim mungkin.
e.
Kesenjangan sosial dalam hal agama harus
dibuat seminim mungkin, dan sedapat – dapatnya dihapuskan sama sekali.
f.
Perlu dikembangkan adanya identitas
bersama (common identity) misalnya kebangsaan (nasionalisme-Indonesia) agar
masyarakat menyadari pentingnya persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Perlu dicari tokoh masyarakat yang dipercaya dan/ atau
dihormati oleh pihak-pihak yang berkonflik, untuk berusaha menghentikan konflik
(conflict intervention), melalui lobi-lobi, negosiasi, diplomasi. Hal ini
merupakanusaha peace making.
Dalam
usaha untuk mengembangkan adanya perdamaian yang lestari, atau adanya
rekonsiliasi, maka metode yang dipakai oleh pihak ketiga sebaiknya adalah
mediasi dan bukan arbitrase. Dalam arbitrase, pihak ketiga (pendamai) yang
dipercaya oleh pihak-pihak yang bertentangan/berkonflik itu, setelah
mendengarkan masing-masing pihak mengemukakan masalahnya, maka si arbitrator
“mengambil keputusan dan memberikan solusi atau penyelesaiannya, yang “harus”
ditaati oleh semua pihak yang berkonflik.
Penyelesaian konflik melalui jalan arbitrase mungkin
dapat lebih cepat diusahakan, namun biasanya tidak lestari. Apalagi kalau ada
pihak yang merasa dirugikan, dikalahkan atau merasa bahwa kepentingannya belum
diindahkan.
Sebaliknya,
mediasi adalah suatu cara intervensi dalam konflik, di mana mediator
(fasilitator) dalam konflik ini juga harus mendapat kepercayaan dari pihak yang
berkonflik. Tugas mediator adalah memfasilitasi adanya dialog antara pihak yang
berkonflik, sehingga semuanya dapat saling memahami posisi maupun kepentingan
dan kebutuhan masing-masing, dan dapat memperhatikan kepentingan bersama.
Jalan keluar atau penyelesaian konflik harus diusulkan
oleh atau dari pihak-pihak yang berkonflik. Mediator sama sekali tidak boleh
mengusulkan atau memberi jalan keluar/penyelesaian, namun dapat mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk dapat
mengusulkan atau menemukan jalan penyelesaian yang dapat diterima oleh semua
pihak. Mediator tidak boleh memihak, harus “impartial”, tidak bias, dsb.
Mediator harus juga memperhatikan
kepentingan-kepentingan stakeholders, yaitu mereka yang tidak terlibat secara
langsung dalam konflik, tetapi juga mempunyai kepentingan-kepentingan dalam
atau atas penyelesaian konflik itu. Kalau stakeholders belum diperhatikan
kepentingannya atau kebutuhannya, maka konflik akan dapat terjadi lagi, dan
akan meluas serta menjadi lebih kompleks dan dapat berlangsung dengan berkepanjangan.
2.5.2. Tahapan Pendamaian
Mengembangkan kegiatan pendamaian itu tidak mudah. Ada
beberapa tahapan atau perkembangan yang dapat kita amati yaitu:
a.
Peace making (conflict resolution) yaitu
memfokuskan pada penyelesaian masalah – masalahnya (isunya: persoalan tanah,
adat, harga diri, dsb.) dengan pertama-tama menghentikan kekerasan, bentrok
fisik, dll. Waktu yang diperlukan biasanya cukup singkat, antara 1-4 minggu.
b.
Peace keeping (conflict management) yaitu
menjaga keberlangsungan perdamaian yang telah dicapai dan memfokuskan
penyelesaian selanjutnya pada pengembangan/atau pemulihan hubungan
(relationship) yang baik antara warga masyarakat yang berkonflik. Untuk itu
diperlukan waktu yang cukup panjang, sehingga dapat memakan waktu antara 1-5 tahun.
c.
Peace building (conflict transformation).
Dalam usaha peace building ini yang menjadi fokus untuk diselesaikan atau
diperhatikan adalah perubahan struktur dalam masyarakat yang menimbulkan
ketidak-adilan, kecemburuan, kesenjangan, kemiskinan, dsb. Waktu yang
diperlukan pun lebih panjang lagi, sekitar 5-15 tahun.
Konflik antarumat beragama itu di Indonesia
akhir-akhir ini rupa-rupanya sengaja dibuat atau direkayasa oleh kelompok
tertentu atau kekuatan tertentu untuk menjadikan masyarakat tidak stabil.
Ketidakstabilan masyarakat ini dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politis
maupun ekonomis, oleh berbagai pihak. Hal ini sangat berbahaya, karena konflik
horizontal dapat dimanipulasi menjadi konflik vertikal, sehingga menimbulkan
bahaya separatisme dan disintegrasi nasional atau disintegrasi bangsa.
Untuk menghadapi masalah-masalah konflik dengan
kekerasan yang melibatkan umat berbagai agama dalam suatu masyarakat,
diperlukan sikap terbuka dari semua pihak, dan kemampuan untuk memahami dan
mencermati serta menganalisa sumber-sumber konflik. Demikian juga diperlukan
adanya saling pengertian dan pemahaman kepentingan masing-masing pihak, agar
dapat mengembangkan dan melihat kepentingan bersama yang lebih baik sebagai
prioritas, lebih daripada kepentingan masing-masing pihak yang mungkin
bertentangan.
2.6. Harapan
Agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti.
Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah maka kita harus berkomitmen untuk saling
menghargai agama-satu sama dengan yang lainnya. Jika hal itu tidak kita
tanamkan maka hal yang terjadi adalah saling menghina dan menjatuhkan agama, dan kita tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan dan
ketenangan. Dalam hal itu, harapan kita bersama adalah dapat menyatakan bahwa
semua agama itu sama. Dan diiringi dengan reconception, yaitu menyelami dan meninjau
kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Tidak lepas
dari hal tersebut kita juga mengharapkan sintesis, yaitu menciptakan suatu agama
baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan
demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran
agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Harapan yang
paling terpenting ialah penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, tetapi tidak menyalahkan agama lain. Mendasar agree in disagreement (setuju dalam
perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling
baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang
dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan
agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Peran dan fungsi agama bagi manusia
sangatlah berpengaruh terhadap kehidupannya, karena agama adalah suatu pedoman hidup
seseorang untuk mencapai kebahagiaan dunia maupun akhiratnya
Salah satu tujuan agama adalah
membentuk jiwa nya ber-budipekerti dengan adab yang sempurna baik dengan Tuhan-nya
maupun lingkungan masyarakat. Semua agama sudah sangat sempurna, dikarenakan
dapat menuntun umatnya agar bersikap dengan baik dan benar serta dibenarkan. Keburukan
cara bersikap dan penyampaian si pemeluk agama dikarnakan ketidakpahaman tujuan
dari agamanya. Saling memojokkan serta membandingkan agama satu dengan yang
lain adalah cerminan kebodohan si pemeluk agama, hal ini merupakan salah satu
penyebab terjadinya konflik agama.
Untuk memperbaiki ataupun mencegah
konflik adalah dengan cara menjaga sikap dan perilaku setiap umat beragama.
Dalam hal ini pengendalian diri sangatlah dibutuhkan, saling bisa menjaga
keharmonisan dan selalu berpikir positif adalah cara yang terbaik untuk dapat
mencegahnya. Apabila setiap lapisan berpikir negative, maka segala sisi dan
kegiatan keagamaan akan dianggap salah, hal ini tentu akan memicu terjadinya
konflik.
3.1. Saran
Berdasarkan uraian tentang agama dan
kerukunan dan didalamnya juga membahas tentang konflik agama yang saat ini
tengah menjadi sorotan masyarakat, maka penyusun berharap agar masyarakat sadar
bahwa kerukunan umat beragama sangatlah penting. Agama seharusnya tetap menjadi
pedoman dalam membangun kerukunan dan kesejahteraan, bukan menjadi pemicu
konflik yang dapat merusak rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
0 komentar:
Post a Comment